MeKo || Jakarta
Aroma ketidakadilan kembali tercium dari ruang pengadilan. Seorang warga bersama suaminya melayangkan laporan serius ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI dan menyerahkan dokumen pengaduan resmi ke Komisi Yudisial RI, terkait dugaan pelanggaran kode etik dan keberpihakan Majelis Hakim serta Panitera Pengganti dalam perkara perdata yang tengah mereka jalani.
Laporan tersebut berkaitan dengan perkara Nomor: 11/Pdt.G/2024/PN.Rta, di mana pelapor – Winda Asrilany dan Jhon Akang Saragih – menyampaikan dugaan keberpihakan hakim terhadap pihak penggugat, yaitu PT. Kharisma Alam Persada.
Dalam laporan tertulisnya melalui platform SIWAS Mahkamah Agung, pelapor menyoroti sejumlah kejanggalan yang mencolok: mulai dari perubahan jadwal sidang sepihak tanpa pemberitahuan, dugaan komunikasi eksklusif Panitera Pengganti Mulyadi dengan pihak penggugat, hingga pembatasan akses tergugat terhadap bukti fisik dan berita acara sidang (BAS).
“Kami merasa ada keberpihakan yang sangat terang. Bahkan Ketua Majelis Hakim pernah menyatakan secara langsung: ‘Kalau tidak puas, kan masih ada banding dan kasasi.’ Ini membuat kami menyimpulkan bahwa putusan sudah digiring sejak awal,” ungkap pelapor dalam laporannya.
Tak hanya itu, Ketua Majelis Hakim Achmad Iyud Nugraha, S.H., M.H., disebut memaksakan arah pertanyaan kepada saksi-saksi tergugat agar sesuai dengan narasi dan bukti dari penggugat. “Ada bentuk tekanan psikologis dan intimidasi terhadap saksi kami,” tambahnya.
Berbagai pelanggaran etik yang diuraikan dalam pengaduan tersebut menyasar secara langsung Majelis Hakim yang terdiri dari tiga orang: Achmad Iyud Nugraha (Ketua), Dwi Army Okik Arissandi dan Fachrun Nurrisya Aini (Anggota), serta Panitera Pengganti Mulyadi.
Bukti formal laporan ini telah diterima oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia pada Selasa, 24 Juni 2025, yang tercatat dalam Tanda Terima Penyerahan No. 0585/V/2025/P dengan paraf penerima atas nama Mulyadi & Rico.
Pengaduan ini menjadi catatan penting bagi sistem peradilan Indonesia, terutama dalam upaya menjaga marwah dan integritas lembaga hukum. Kasus ini diharapkan menjadi bahan evaluasi bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk terus memperkuat pengawasan terhadap etika aparat peradilan.