Menu
mediakoran.com

Royalti Musik di Tempat Usaha: Saatnya Regulasi Ditinjau Ulang Sebelum Industri Musik Ambruk

  • Share

MeKo|| Jakarta 

Dalam beberapa tahun terakhir, polemik mengenai regulasi royalti atas pemutaran musik di ruang-ruang usaha seperti restoran, kafe, pub, hingga mal makin mencuat. Sayangnya, hingga kini pemerintah maupun Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) terkesan belum mampu menjelaskan secara utuh dan adil skema pembayaran yang diwajibkan kepada para pelaku usaha tersebut.

Sebagai produser musik sekaligus praktisi hukum, saya melihat bahwa aturan yang saat ini diberlakukan sangat membingungkan, minim sosialisasi, dan terkesan hanya berpihak pada satu sisi. Tanpa kejelasan dan pengawasan yang transparan, aturan royalti justru membuka ruang resistensi besar dari pelaku usaha yang merasa dirugikan.

*Royalti Mahal, UMKM Tercekik*

Tarif royalti yang ditetapkan oleh LMK terhadap tempat usaha dinilai terlalu tinggi dan tidak proporsional, apalagi bagi pelaku UMKM yang baru tumbuh pascapandemi. Dalam beberapa kasus, restoran kecil yang hanya memutar musik sebagai latar suasana bahkan ditagih jutaan rupiah per bulan. Ini sungguh tidak masuk akal.

Lebih ironis lagi, terdapat statemen dari LMKN bahwa suara alam seperti kicau burung atau efek ambience buatan pun ikut ditagih royalti, karena dianggap bagian dari elemen musikal. Lalu, siapa yang bisa menjelaskan logika ini?

Apakah kita akan sampai pada titik di mana sebuah warung kopi sederhana harus membayar royalti hanya karena ada musik instrumental lembut yang diputar dari YouTube atau Spotify?

*Musim AI: Jalan Keluar yang Mengkhawatirkan*

Tekanan biaya dan ketidakpastian hukum membuat banyak pengusaha kini beralih ke teknologi. Salah satunya dengan menggunakan musik berbasis kecerdasan buatan (AI), seperti dari platform Suno, yang menghasilkan komposisi musik original tanpa hak cipta. Secara legal, musik ini bebas digunakan tanpa perlu membayar royalti.

Namun, solusi instan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Bila tren ini terus tumbuh, industri musik Indonesia akan perlahan-lahan kehilangan tempatnya. Lagu-lagu karya musisi lokal tak lagi diputar di kafe, restoran, atau pusat perbelanjaan. Ruang-ruang distribusi yang dulu menjadi bagian penting dalam membangun popularitas dan penghasilan bagi para musisi, kini digantikan oleh audio buatan mesin.

“Kalau semua cafe, resto, pub tidak lagi mau memutarkan musik, terutama lagu Indonesia, dan hanya memutar lagu hasil AI, ini bisa jadi awal kehancuran industri musik Indonesia. Musisi malah tidak lagi dapat pemasukan dari ruang-ruang publik,” ungkap saya dalam sebuah diskusi komunitas musik beberapa waktu lalu.

*Regulasi yang Butuh Evaluasi Menyeluruh*

Permasalahan ini bukan semata soal royalti. Ini adalah cerminan dari kurangnya komunikasi, sosialisasi, dan kepekaan regulasi terhadap dinamika usaha dan kemajuan teknologi. Pemerintah dan LMK harus duduk bersama, membuka ruang dialog, serta merumuskan sistem yang adil dan realistis.

Beberapa hal mendesak yang perlu segera ditinjau:

1. Penyesuaian tarif royalti berdasarkan skala usaha dan lokasi

2. Mekanisme pelaporan penggunaan musik yang transparan

3. Sosialisasi masif kepada pelaku usaha dan pemilik tempat publik

4. Regulasi yang membedakan antara musik komersial dan musik pengisi suasana

5. Pemetaan dan klasifikasi jenis musik yang memang layak dikenakan royalti

Jika tidak segera direspons, bukan tidak mungkin kita akan melihat ruang-ruang publik Indonesia didominasi oleh musik tanpa jiwa dari AI, sementara para musisi lokal terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Ini bukan hanya soal uang. Ini soal kelangsungan hidup sebuah budaya.

_Penulis: JT, Produser Musik & Praktisi Hukum_

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *