MeKo||Jakarta
Awal Oktober 2025, Indonesia dikejutkan oleh serangkaian email dan pesan WhatsApp berisi ancaman bom terhadap tiga sekolah Internasional di Jabodetabek; Mentari Intercultural School (Bintaro), Jakarta Nanyang School (BSD), dan Jakarta Intercultural School (Kelapa Gading). Pesan yang berisi ancaman itu dikirim oleh akun yang mengaku “Al-Qaeda Al-Qaeda” dari alamat luar negeri, dengan permintaan tebusan dalam bentuk Bitcoin. Polisi dan tim Gegana bergerak cepat memeriksa lokasi ancaman, mengevakuasi siswa, dan menyisir seluruh area. Hasilnya nihil, tidak ada bahan peledak.
Dari hasil penelusuran awal Polisi, pelaku diduga bukan bagian dari jaringan teroris Internasional, melainkan _scammer digital_ yang memanfaatkan simbol dan nama organisasi teroris untuk melakukan pemerasan massal. Pola seperti ini dikenal dalam dunia siber sebagai _Terror Scam_, sebuahkejahatan penipuan dengan pola serangan ancaman bom untuk memperoleh sejumlah uang tebusan dalam bentuk Kripto. Walaupun bukan bom sungguhan, efek sosialnya tetap nyata. Rasa takut, panik, dan disrupsi aktivitas pendidikan. Ancaman digital itu menunjukkan bahwa terorisme dan kejahatan siber kini saling beririsan membaur di ruang yang sama dengan dunia maya.
Fenomena ini dikenal sebagai _Cyber Terrorism_, serangan dalam bentuk non-fisik yang tidak menimbulkan ledakan secara nyata, tetapi mengganggu rasa aman masyarakat. Jika dulu medan perang terorisme berada di jalanan, kini ia telah berpindah ke dunia maya yang anonim, cepat, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk lintas batas negara.
Pertanyaannya: mampukah hukum kita beradaptasi dan bertransformasi secepat kemajuan teknologi yang pelaku miliki untuk menciptakan teror virtual?
Dalam teori hukum Jerman ada dua konsep penting yang menarik untuk dilihat, _Das Sollen_ (yang seharusnya) dan _Das Sein_ (yang terjadi). Dua konsep ini menjadi cermin bagi hukum siber Indonesia. Secara _de jure_ _(das Sollen)_, perangkat hukum kita tampak lengkap mulai dari Undang-Undang ITE, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hingga kebijakan keamanan siber nasional. Namun secara _de facto_ _(das Sein)_, penegakan hukum masih jauh tertinggal dari dinamika dunia digital yang tanpa batas dan berlapis teknologi anonimitas.
Kasus ancaman bom melalui _digital attack_ di tiga sekolah internasional menunjukkan bahwa pelaku mampu bersembunyi di balik alamat email acak, nomor internasional, dan transaksi kripto yang sulit dilacak. Semua berada di luar jangkauan yurisdiksi hukum nasional. Penegakan hukum menjadi terasa lamban karena terbatasnya kemampuan sumber daya digital forensik yang kita miliki, minimnya kerja sama internasional, serta belum adanya mekanisme hukum yang adaptif dalam menghadapi kejahatan siber lintas yurisdiksi. Inilah jurang antara hukum yang ideal dan realitas lapangan, antara teks undang-undang dan dunia digital yang terus berubah.
Masalah utama kita bukan pada ketiadaan aturan, tetapi pada ketimpangan antara hukum dan sumber daya manusia penegak hukumnya. Idealnya, aparat hukum dibekali dengan kemampuan teknologi mutakhir, jaringan kerja internasional, dan sistem koordinasi lintas lembaga yang efisien. Namun faktanya, koordinasi antara lembaga yang ada, baik BNPT, Polri, dan Kominfo masih sering tumpang tindih, birokrasi berjalan lambat, dan belum terintegrasi secara digital. Sementara para pelaku baik teroris maupun penipu siber semakin canggih memanfaatkan kecerdasan buatan _AI (Artificial Intelligent)_, deepfake, dan phishing berbasis ideologis untuk menipu publik.
Lebih jauh, kejahatan digital seperti _terror scam_ tidak hanya merusak rasa aman, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem keamanan negara. Jika masyarakat mudah panik karena pesan ancaman di dunia maya, maka tujuan para pelaku tercapai tanpa perlu menyalakan satu pun bahan peledak. Teror digital bekerja lewat persepsi dan hukum yang tidak mampu memulihkan rasa aman akan kehilangan fungsi sosialnya.
Sudah saatnya hukum bergerak dari sekedar _Das Sollen_ menuju _Das Sein_ yang adaptif terhadap realitas digital. Hukum harus direkonstruksi agar tidak hanya kuat secara normatif, tetapi juga responsif terhadap pola kejahatan baru seperti _terror scam_ dan _cyber terrorism._ Langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain memperkuat literasi digital ideologis masyarakat, mempererat sinergi antar lembaga penegak hukum, menghapus ego sektoral, patroli siber, mengembangkan sistem deteksi dini berbasis kecerdasan buatan, serta memperluas kerja sama internasional untuk menelusuri kejahatan kripto lintas batas.
Namun di atas semuanya, masyarakat sendiri perlu berperan serta menjadi bagian dari sistem pertahanan digital. Ketahanan hukum akan kuat jika dibarengi dengan ketahanan literasi masyarakat, kemampuan untuk memverifikasi, melapor, dan tidak terprovokasi oleh ancaman maya.
Jurang antara _Das Sollen_ dan _Das Sein_ dalam penegakan hukum tidak boleh dibiarkan semakin melebar. Hukum yang hanya kuat di atas pasal, tetapi lemah dalam implementasi, akan kehilangan makna di tengah perkembangan teknologi. Indonesia membutuhkan hukum yang bukan hanya keras menindak, tetapi juga cerdas beradaptasi. Karena perang melawan teror kini tidak lagi di medan tempur fisik, melainkan di ruang digital di balik setiap klik, pesan, dan algoritma.
Penulis: Yuni Maharani
Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
 
 
 
 
							










