Menu
mediakoran.com

Jakarta Diteror Banjir, Pramono Siaga Penanganan dan Solusi

  • Share

MeKo|| Jakarta 

Banjir kembali menghantui masyarakat di ibu kota negara. Sejumlah wilayah di DKI Jakarta dikepung banjir setelah beberapa hari terakhir dilanda hujan deras.

Beberapa daerah seperti kawasan Jalan Kemang Raya, Jati Padang, Pasar Minggu, Cipete Utara, hingga Kuningan Barat, mengalami genangan akibat banjir.

Merespons masalah banjir, Gubernur DK Jakarta, Pramono Anung mengatakan bahwa waduk Pluit di Jakarta Utara menjadi salah satu infrastruktur penting dalam pengendalian banjir di Ibu Kota.

Pihaknya menilai, waduk tersebut berperan besar dalam mempercepat penyusutan air hujan dan menjaga sistem drainase tetap berfungsi optimal.

Dengan luas 80 hektare (ha) dan daerah tangkapan air sekitar 2.400 ha, Waduk Pluit diyakini berperan penting mempercepat aliran air menuju laut, sehingga genangan di sejumlah kawasan bisa segera surut.

“Kenapa air di Jakarta relatif cepat surut? Karena sekarang ini bisa dimonitor dan dikoordinasikan dengan lebih baik,” ujar Pramono dalam rilis pers, Senin (3/11/2025).

Teror yang Tak Pernah Usai

Sudah hampir ratusan tahun, banjir tetap merupakan salah satu persoalan yang tak lekang dari wajah ibu kota.

Banjir di Jakarta memang bukan fenomena yang baru, ia sudah bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Di zaman kolonial Belanda (dulu masih bernama Batavia), permasalahan banjir bahkan telah menjadi isu utama, sehingga pemerintahan Hindia Belanda saat itu memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia Lama ke Weltevreden (sekarang kawasan Gambir dan sekitarnya).

Di masa kolonial, sekitar abad ke-17, Batavia dibangun di muara Sungai Ciliwung, sebuah kawasan daratan rendah yang sejajar dengan permukaan laut.

Memang, kalau dilihat dari kontur tanah yang ada di kawasan ini, dulunya merupakan delta rawa-rawa yang mudah tergenang.

Belanda yang terkenal sangat mahir dalam masalah pengelolaan air berusaha membangun kanal-kanal buatan untuk mengalirkan air dari hulu ke laut.

Sayangnya, upaya ini tidak menjadi solusi jangka panjang mengingat dalam perkembangannya, kanal-kanal di Batavia ini tersumbat oleh lumpur, tercemar sampah, dan mengalami pendangkalan akibat erosi serta pengendapan sedimen dari Sungai Ciliwung dan anak-anak lainnya.

Alhasil, banjir terus menjadi fenomena rutin terutama saat musim hujan dan pasang laut sampai sekarang.

Setiap musim hujan, selalu saja diperhadapkan pada genangan, luapan sungai, rob hingga banjir kiriman yang semuanya tertuju pada Jakarta.

Kondisi topografi, sistem drainase yang padat, keberadaan sungai-besar seperti Sungai Ciliwung dan saluran air yang sudah mulai banyak tertutup pemukiman (betonisasi), menjadi penyebab lain yang semakin menambah kompleksita banjir di kawasan ini.

Gubernur Pramono Anung dalam Penanganan Banjir

Kini di era kepemimpinan Gubernur Pramono Anung, permasalahan banjir kembali diangkat untuk mengorek ‘luka lama’ yang tak pernah benar-benar sembuh.

Seolah, setiap pemimpin yang datang setelahnya, adalah pembawa masalah baru dari masalah klasik ini, meskipun hampir semua tahu bahwa ini adalah masalah beberapa abad sebelumnya yang gagal diselesaikan pemimpin-pemimpin yang datang lebih awal dan setelahnya.

Parahnya, mereka yang datangnya di ujung (sekarang) menjadi kambing hitam seakan-akan masalah ini tidak pernah ada sebelumnya dan baru hadir di saat pemimpin baru datang.

Fatalnya lagi, pemimpin baru yang menjabat belum genap setahun, diminta untuk menyelesaikan masalah yang telah ada ratusan tahun dalam sekejap. Ini memang bukan harapan, tapi telah berubah menjadi hukuman dan penghakiman bagi para pemimpin baru di Jakarta.

Bagaimana tidak, mereka tidak peduli sudah berapa lama ia menjabat atau sudah berapa banyak kebijakan yang dihasilkan untuk mengatasi banjir, tapi sudah seberapa bisa banjir dihentikan. Ini tidak hanya tentang pertanyaan yang rasional, tapi justifikasi tanpa dasar.

Ibarat orang yang datang setelah semua makanan di meja habis terlahap lalu dituduh sebagai pihak yang menghabiskan makanan di meja lantaran mereka lah orang yang berada di meja saat ini. Jadi, tidak hanya irasional, tapi juga absurd.

Lantas, langkah kebijakan macam apa yang telah dan sedang dilakukan Pramono Anung dalam menangani masalah klasik banjir ibu kota ini?

Sejak awal memasuki masa kepemimpinannya, Pramono Anung, telah mengambil beberapa inisiatif konkret dalam penanganan banjir.

Beberapa aksi nyata itu dilakukan melalui aktivasi pompa dan pintu air. Pramono menyatakan bahwa 200 titik pompa (jumlah total ±500 pompa) di seluruh Jakarta akan diaktifkan penuh saat situasi banjir.

Pembukaan pintu air agar aliran sungai dapat lebih lancar ketika curah hujan tinggi atau banjir kiriman datang.

Selanjutnya, modifikasi cuaca juga menjadi langkah tambahan untuk mengurangi intensitas hujan di wilayah tertentu. Ini termasuk sebuah intervensi yang jarang digunakan dalam praktik lokal.

Pramnono juga terbukti sangat sigap dalam melakukan apel siaga dan pemantauan lapangan. Ini guna meningkatkan kesiagaan penanggulangan banjir di kawasan seperti Kali Ciliwung, agar langkah antisipasi berjalan kontinu.

Tidak berhenti di sana, kolaborasi lintas sektor dan hulu-hilir juga terus dilakukan. Pramono menyadari bahwa banjir kiriman, utamanya dari Bogor membutuhkan kerja sama dengan wilayah hulu serta instansi lain untuk menata resapan air dan pengendalian sungai.

Komitmen serupa juga ditunjukkan dengan sikap personal Pramono selaku pejabat daerah yang rutin mengunjungi korban, melayat keluarga korban banjir, hingga mengarahkan jajaran Pemprov untuk bertindak.

Meskipun begitu, Gubernur Pramono mengakui bahwa langkah yang diambil saat ini masih belum bisa dikatakan optimal karena baru saja menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Terlebih, masalah banjir Jakarta adalah persoalan multidimensi yang tidak bisa diselesaikan dalam semalam.

Butuh komunikasi, koordinadi, kerja sama dan sinergi multipihak, menyeleraskan ide, kepentingan dan tanggung jawab untuk mengurai persoalan kompleks ini.

Dengan begitu, untuk saat ini, wujud komitmen Gubernur Pramono Anung dalam penanganan banjir telah diimplementasikan dalam dari tiga pilar. Ia meliputi kesiapsiagaan operasional berupa pompa dan pintu air, pendekatan sistemik dari hulu-hilir, hingga modifikasi cuaca, dan kerangka kolaboratif, yakni penguatan kerja sama antar berbagai pihak.

Oleh: Yakub F. Ismail

 

——-***——-

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *