Menu
mediakoran.com

Tantangan dan Peluang Indonesia sebagai Kekuatan Menengah dalam Transisi Menuju Tata Dunia Baru: Perspektif Arsitektur Keamanan Indo-Pasifik

  • Share

MeKo|| Jakarta 

Oleh: Dr. Surya Wiranto, SH MH

Abstrak
Transisi tatanan dunia global yang ditandai dengan persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta bangkitnya kekuatan menengah (middlepower) menciptakan lanskap geopolitik yang kompleks, khususnya di kawasan Indo-Pasifik. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis posisi, tantangan, dan peluang Indonesia dalam kapasitasnya sebagai kekuatan menengah untuk berkontribusi pada stabilitas dan pembentukan arsitektur keamanan kawasan yang inklusif dan berbasis aturan. Dengan menggunakan lensa metodologi Action Research (See-Judge-Act), penelitian ini pertama-tama mengidentifikasi konteks geopolitik yang bergejolak dan kepentingan nasional Indonesia. Makalah ini menilai secara kritis kebijakan luar negeri Indonesia yang ada, termasuk peran sentralnya dalam ASEAN, dan menganalisis kesenjangan antara ambisi dan kapasitas. Pada bagian akhir, makalah ini merumuskan serangkaian rekomendasi kebijakan yang konkret dan dapat ditindaklanjuti untuk memperkuat peran Indonesia, menekankan pada diplomasi poros dan pembangunan kelembagaan. Temuan menunjukkan bahwa meskipun menghadapi tantangan signifikan dalam hal kapabilitas militer dan kohesi internal ASEAN, Indonesia memiliki peluang unik untuk memanfaatkan modal diplomatiknya yang besar dan posisinya yang netral untuk menjadi fasilitator dan “penstabil” kunci di kawasan.
Kata Kunci: Kekuatan Menengah, Indonesia, Arsitektur Keamanan, Indo-Pasifik, Tata Dunia Baru, ASEAN, Diplomasi Poros, Action Research.

*1. Pendahuluan*
Makalah dibuat sebagai hasil diskusi tim IndopacificStrategic Intelligence (ISI) dengan tim dari forum Friedrich-Ebert Stiftung (FES) Asia Strategic ForesightGroup di Jakarta pada 27 Agustus 2025. Dunia saat ini berada dalam fase transisi yang menentukan, bergerak dari hegemoni pasca-Perang Dingin yang dipimpin Amerika Serikat menuju tatanan multipolar yang lebih tersebar dan kompetitif. Pergeseran pusat gravitasi ekonomi dan strategis global ke kawasan Indo-Pasifik telah menjadikan wilayah ini sebagai episentrum persaingan kekuatan besar, sekaligus laboratorium bagi pembentukan norma dan institusi internasional masa depan. Dalam konteks ini, kategori middle power atau kekuatan menengah menjadi semakin relevan. Kekuatan menengah, yang secara tradisional didefinisikan berdasarkan ukuran ekonomi, pengaruh diplomatik, dan kapasitas untuk membangun koalisi, tidak memiliki kemampuan untuk mendikte hasil global secara unilateral tetapi memiliki kepentingan substantif dalam mempertahankan tatanan berbasis aturan. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, populasi terbesar keempat di dunia, dan anggota pendiri Gerakan Non-Blok, Indonesia secara alami termasuk dalam kategori ini. Pidato ini akan mengkaji secara mendalam bagaimana Indonesia, melalui pendekatan Action Research yang meliputi observasi (See), refleksi kritis (Judge), dan rekomendasi aksi (Act), dapat menavigasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh momen geopolitik yang genting ini, dengan fokus khusus pada kontribusinya terhadap arsitektur keamanan Indo-Pasifik yang sering kali dihadapkan pada tarik-ulur antara visi yang inklusif dan yang bersifat sektarian.

*2. Konteks Strategis dan Realitas Kawasan*
Lanskap keamanan Indo-Pasifik saat ini dicirikan oleh dinamika yang saling bertautan namun juga kontradiktif. Di satu sisi, kawasan ini meningkatkan integrasi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, didorong oleh Regional Comprehensive EconomicPartnership (RCEP) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022 dan melibatkan Indonesia di dalamnya. Di sisi lain, persaingan antara Amerika Serikat melalui kerangka strategi seperti Indo-Pacific Strategy (IPS) yang diumumkan sejak 2017 dan Tiongkok melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI)-nya telah memicu ketegangan keamanan yang signifikan, khususnya di Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Ketegangan ini memanifestasikan diri dalam meningkatnya aktivitas militer, klaim maritim yang saling bersinggungan, dan upaya untuk memengaruhi pilihan strategis negara-negara kecil dan menengah. Arsitektur keamanan yang ada, seperti Forum Keamanan Regional ASEAN (ARF) dan Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN-Plus (ADMM-Plus), menunjukkan ketahanan tertentu tetapi juga menghadapi ujian berat dalam menghasilkan konsensus yang berarti di tengah perpecahan yang disebabkan oleh persaingan kekuatan besar. Indonesia, dengan komitmen konstitusionalnya untuk “bebas dan aktif,” menemukan dirinya berada di persimpangan jalan yang kompleks. Kepentingan nasionalnya yang vital, mulai dari melindungi kedaulatan atas wilayah maritimnya yang luas, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif di sekitar Natuna, hingga menjamin stabilitas untuk pembangunan ekonomi langsung terpengaruh oleh setiap gejolak di kawasan. Oleh karena itu, memahami realitas yang keras ini merupakan langkah pertama yang indispensable dalam merumuskan respons strategis yang efektif.

*3. Analisis Kritis atas Posisi dan Kebijakan Indonesia*
Berdasarkan konteks yang diobservasi tersebut, suatu penilaian kritis terhadap kapasitas dan pendekatan Indonesia menjadi suatu keharusan. Sebagai kekuatan menengah, Indonesia memiliki sejumlah modal kekuatan yang signifikan. Modal tersebut termasuk sejarah diplomasi yang terhormat, peran sentral dalam ASEAN sebagai primus inter pares, dan kepemimpinan dalam forum-forum seperti G20 dimana Indonesia sukses memimpin presidensi pada tahun 2022. Inisiatif seperti ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang diadopsi pada KTT ASEAN ke-34 di Bangkok tahun 2019, merupakan bukti dari upaya Indonesia untuk mendorong visi kawasan yang inklusif, transparan, dan berbasis aturan, yang bertolak belakang dengan pendekatan yang lebih bersifat sektarian dan konfrontatif. Namun, analisis yang jujur juga harus mengakui sejumlah keterbatasan struktural. Kapabilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI), meskipun sedang dalam proses modernisasi melalui Minimum Essential Force (MEF), masih belum memadai untuk secara efektif mengawasi dan mempertahankan wilayah yurisdiksi nasional yang sedemikian luas, apalagi untuk memproyeksikan kekuatan secara signifikan. Secara internal, fokus pemerintah pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi domestik terkadang dianggap menyebabkan pendekatan yang sedikit reaktif, bukan proaktif, dalam kebijakan luar negeri. Secara eksternal, efektivitas Indonesia sangat bergantung pada kohesivitas ASEAN, yang saat ini sedang diuji oleh perbedaan pendapat yang dalam di antara negara-negara anggotanya mengenai cara menghadapi Tiongkok. Dengan demikian, terdapat kesenjangan yang nyata antara ambisi normatif Indonesia untuk menjadi “penjaga perdamaian” kawasan dan kapasitas instrumentalnya untuk mewujudkan ambisi tersebut secara konsisten.

*4. Rekomendasi Aksi untuk Memperkuat Peran Strategis*
Untuk menjembatani kesenjangan yang teridentifikasi dalam analisis kritis di atas, diperlukan serangkaian aksi yang terencana, konkret, dan multidimensi. Rekomendasi kebijakan ini dirancang untuk memperkuat peran Indonesia dari kekuatan menengah yang reaktif menjadi arsitek kawasan yang proaktif. Pertama, Indonesia harus secara lebih agresif mempromosikan dan mengoperasionalkan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). Daripada sekadar menjadi dokumen konseptual, AOIP harus diisi dengan kegiatan-kegiatan praktis yang konkret. Indonesia dapat mengusulkan dan menjadi tuan rumah inisiatif kerja sama maritim triliterial atau kuadrilateral di bawah payung AOIP, misalnya melibatkan patroli bersama atau penanggulangan bencana dengan Vietnam, Filipina, dan mungkin Australia, yang fokus pada isu-isu non-tradisional seperti penangkapan ikan ilegal, pencucian uang, atau bantuan kemanusiaan. Kedua, penting untuk meningkatkan leadership Indonesia dalam institusi-institusi ASEAN yang ada. Indonesia harus memelopori reformasi dalam ADMM-Plus untuk membuat mekanisme respons krisis yang lebih cepat dan lessdependent pada konsensus absolut, sehingga dapat bertindak lebih efektif dalam situasi darurat. Ketiga, diplomasi “poros” harus dioptimalkan. Indonesia perlu secara simultan memperdalam kemitraan strategis dengan semua pihak—dengan AS dalam hal transfer teknologi pertahanan dan alih pengetahuan, dengan Tiongkok dalam investasi infrastruktur yang transparan, dan dengan kekuatan menengah lainnya seperti Republik Korea, Australia, dan India melalui skema Kerja Sama Segitiga (Trilateral Cooperation) untuk pembangunan kapasitas dan infrastruktur konektivitas di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara, sehingga menawarkan alternatif yang kredibel.

*5. Memperkuat Fondasi Domestik dan Kemitraan Inklusif*
Rekomendasi aksi tidak akan lengkap tanpa mempertimbangkan fondasi domestik dan kemitraan yang lebih luas. Keempat, adalah imperatif untuk mempercepat modernisasi dan integrasi kekuatan maritim Indonesia. Ini bukan hanya tentang memperbanyak jumlah platform (kapal, pesawat), tetapi juga tentang mengintegrasikan sistem pengawasan maritim yang mencakup teknologi satelit, drone, dan radar untuk menciptakan Maritime Domain Awareness (Kesadaran atas Wilayah Maritim) yang komprehensif. Kolaborasi dengan mitra seperti Prancis dalam pengembangan kapal selam Scorpène atau dengan Inggris dalam pembangunan frigat Type 31 harus dilihat sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun kemandirian industri pertahanan nasional. Kelima, Indonesia harus memimpin dalam membangun narasi dan wacana alternatif tentang Indo-Pasifik. Melalui think tank ternama seperti CSIS Jakarta atau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia dapat menyelenggarakan track 1.5 diplomacyatau forum cendekiawan untuk terus-menerus mempromosikan prinsip-prinsip inklusivitas, dialog, dan tata kelola yang baik sebagai inti dari arsitektur kawasan, sebagai tandingan terhadap narasi yang berpusat pada persaingan dan containment. Keenam, diplomasi ekonomi harus sejalan dengan diplomasi keamanan. Memperkuat ketahanan ekonomi melalui diversifikasi rantai pasok dan meningkatkan nilai tambah ekspor, misalnya melalui kebijakan hilirisasi nikel yang menjadi perhatian World Trade Organization (WTO), pada akhirnya akan memberikan leverage ekonomi yang lebih besar yang dapat diterjemahkan menjadi pengaruh politik dan strategis di panggung internasional. Fondasi ekonomi yang kuat adalah prasyarat bagi peran kekuatan menengah yang efektif dan berkelanjutan.

*6. Penutup*
Transisi menuju tatanan dunia baru bukanlah sebuah peristiwa, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan yang akan dibentuk oleh pilihan dan aksi kolektif dari berbagai aktor, termasuk kekuatan menengah seperti Indonesia. Melalui kerangka Action Research (See-Judge-Act), menjadi jelas bahwa meskipun Indonesia menghadapi tantangan yang nyata dalam kapabilitas material dan kohesi regional, peluang untuk membentuk masa depan kawasan tetap terbuka lebar. Masa depan arsitektur keamanan Indo-Pasifik masih sangat cair, dan Indonesia, dengan modal diplomatiknya, posisi geopolitiknya, dan komitmennya pada multilateralisme, memiliki potensi yang belum sepenuhnya tergali untuk menjadi katalisator stabilitas. Kunci kesuksesan terletak pada kemampuan Indonesia untuk beralih dari peran yang pasif dan normatif semata menjadi kekuatan yang mampu melaksanakan aksi-aksi operasional yang konkret, membangun koalisi yang efektif, dan memperkuat fondasi domestiknya.
Dengan secara strategis memanfaatkan instrumen diplomasi poros, mempromosikan AOIP secara agresif, dan memperdalam solidaritas ASEAN, Indonesia dapat mewujudkan visinya sebagai “Global Maritime Fulcrum” dan sekaligus membuktikan nilai dari pendekatan kekuatan menengah yang inklusif dan berbasis aturan. Pada akhirnya, kontribusi terbesar Indonesia terhadap tatanan dunia baru mungkin terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan bahwa dalam dunia yang penuh dengan persaingan, kerja sama, dialog, dan tata kelola bersama bukan hanya merupakan sebuah idealisme, melainkan sebuah kebutuhan strategis yang pragmatis.
*Daftar Pustaka*
1. Acharya, A. (2014). The End of American World Order. Polity Press.
2. Bisley, N. (2018). The Indo-Pacific: A New Regional Model?. The National Bureau of Asian Research.
3. Department of Defence, Australia. (2020). 2020 Defence Strategic Update. Commonwealth ofAustralia.
4. Embassy of the Republic of Indonesia, Washington D.C. (2022). Indonesia’s G20 Presidency: RecoverTogether, Recover Stronger.
5. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019). ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. ASEAN Secretariat.
6. Maçães, B. (2018). Belt and Road: A ChineseWorld Order. C. Hurst & Co. Publishers.
7. Medcalf, R. (2020). Contest for the Indo-Pacific: Why China Won’t Map the Future. La TrobeUniversity Press.
8. Parameswaran, P. (2021). The AUKUS Factor: Southeast Asia’s Great Power Balancing ActContinues. The Wilson Center.
9. Scott, D. (2012). “The Indo-Pacific: New Regional Formulations and New Maritime Frameworks forUS-India Strategic Convergence”. Asia-Pacific Review, 19(2).
10. Sukma, R. (2020). Indonesia’s South China Policy: A Middle Power Perspective. ISEAS–Yusof Ishak Institute.
11. World Bank. (2023). Indonesia EconomicProspects: Towards a Unified, Inclusive, andResilient Economy. World Bank Group.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *