MeKo|| Jakarta
Kuasa hukum dua warga negara asing (WNA) asal Tiongkok, Xiong Zukang dan Cui Miaomiao, menilai proses deportasi yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Non TPI Tangerang sarat dengan kejanggalan dan tidak transparan.
Melalui keterangan resmi, Sukisari, S.H., dari Sukisari & Partners Lawfirm, menyampaikan bahwa pihaknya telah mendampingi saksi bernama Lucas Gunawan pada 14 Oktober 2025 terkait kasus penahanan paspor dua kliennya tersebut. Pemeriksaan itu dilakukan berdasarkan Surat Panggilan Nomor: 0023/INTELDAKIM/X/2025 dari Kantor Imigrasi Tangerang.
Dalam pertemuan dengan Kepala Seksi Penindakan Keimigrasian, Aji Arisandi, pihak imigrasi disebut hanya menjelaskan jenis visa dan memperlihatkan hasil wawancara serta Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam bahasa Indonesia. Padahal, menurut Sukisari, kedua WNA tersebut tidak memahami bahasa Indonesia, sehingga diragukan validitas tanda tangan mereka pada dokumen itu.
“Secara logika, bagaimana mungkin mereka paham isi berita acara dalam bahasa Indonesia? Bahkan, mereka membantah telah memberikan keterangan sebagaimana tertulis dalam BAP,” ungkap Sukisari kepada wartawan, Kamis (23/10). Ia juga menyebut memiliki rekaman pernyataan kedua klien yang membantah isi pemeriksaan.
Tak berhenti di situ, proses deportasi pun disebut dilakukan secara terburu-buru. Pada 16 Oktober 2025 malam, dua petugas datang menjemput klien di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta tanpa menunjukkan surat tugas maupun keputusan deportasi resmi. Surat keputusan tersebut baru diperlihatkan setelah klien melewati imigrasi bukan diberikan salinannya.
Sukisari menduga keputusan deportasi dan penangkalan dibuat secara mendadak pada malam yang sama, tanpa mempertimbangkan Pasal 71 huruf a dan b Peraturan Menteri Imigrasi dan Paspor (PERMEN IMIPAS) Nomor 2 Tahun 2025, yang menyebutkan pengecualian terhadap deportasi bagi pelanggaran yang masih bisa diperbaiki.
Pihaknya kemudian mengajukan keberatan resmi pada 20 Oktober 2025 ke Direktorat Jenderal Imigrasi di Kuningan, Jakarta, sesuai Pasal 73 PERMEN IMIPAS. Namun, proses pengajuan keberatan tersebut justru diwarnai kesulitan.
“Kami hampir dua jam menunggu di lobi dan bahkan disarankan menyerahkan berkas kepada satpam. Ini bentuk pelayanan yang jauh dari layak,” tegasnya.
Bahkan, saat Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra melintas di area lobi, Sukisari mengaku sempat memanggil dan meminta perhatian atas kasus tersebut. Namun, menurutnya, Yusril “hanya melengos dan masuk ke lift tanpa menanggapi.”
Akhirnya, setelah berupaya keras, tim kuasa hukum diizinkan bertemu dengan pejabat Direktorat Pengawasan Imigrasi, yakni Rizki (Katim Wilayah 3) dan Arief Eka (Kasubdit Pengawasan Imigrasi). Dalam pertemuan itu, Sukisari menyampaikan tiga poin utama keberatan, yaitu:
1. Proses pemeriksaan dan penetapan deportasi yang tidak transparan;
2. Tidak adanya surat keputusan deportasi sebelum tindakan dilakukan;
3. Buruknya pelayanan publik di Ditjen Imigrasi yang dinilai belum ramah dan profesional.
Menurut Sukisari, cara-cara seperti ini bisa mencoreng citra lembaga imigrasi dan berdampak buruk terhadap nama baik Indonesia di mata dunia.
“Kalau pejabat masih bersikap arogan dan memperlakukan tamu asing seperti penjahat, bagaimana kita bisa membangun kepercayaan dunia terhadap Indonesia?” ujarnya.
Ia pun menegaskan, perubahan sikap dan mental birokrasi menjadi hal penting agar visi Asta Cita Presiden Prabowo dalam membangun Indonesia maju dapat terwujud.











