Oleh: Khairunnisa Ghazalah Sari Raisya Zauharah Farras Arifin
MeKo|| Jakarta
Transformasi digital di sektor publik seringkali terjebak dalam ilusi inovasi. Pemerintah daerah atau kementerian berlomba-lomba meluncurkan aplikasi baru, portal layanan, atau dashboard canggih, namun pada akhirnya, banyak dari proyek tersebut yang tumpang tindih, tidak terintegrasi, atau yang lebih parah: tidak digunakan oleh masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa e-government bukan hanya masalah teknologi, melainkan masalah kepemimpinan.
Inovasi yang gagal ini berakar pada dua kekurangan utama Kepemimpinan Digital. Pertama, kegagalan dalam menyiapkan Manajemen Talenta birokrasi yang siap secara digital. Kedua, kegagalan dalam menerapkan filosofi Customer-Oriented, di mana fokus lebih dominan pada kepentingan internal birokrasi daripada kebutuhan pengguna akhir (masyarakat).Diagnosis Masalah: Aplikasi Self Service dan Resistensi SDM.
Masalah utama dalam e-government adalah mentalitas “aplikasi self-service”: birokrasi membuat aplikasi, lalu berharap masyarakat menggunakannya, tanpa melibatkan mereka dalam proses desain. Hal ini berujung pada pengalaman pengguna (user experience) yang buruk. Padahal, tujuan dari Society 5.0 adalah integrasi ruang siber dan fisik untuk menyelesaikan masalah sosial, bukan menciptakan kerumitan baru.Di sisi internal, resistensi terhadap perubahan adalah masalah klasik.
Pegawai lama sering merasa terancam dengan digitalisasi, bukan karena tidak ingin belajar, tetapi karena pemimpin gagal menawarkan program Manajemen Talenta yang jelas dan berkelanjutan. Banyak proyek digitalisasi tersandung karena pegawai di tingkat operasional tidak memiliki kompetensi atau motivasi untuk mengoperasikan sistem baru.
Mereka lebih nyaman dengan proses manual yang sudah mapan, sehingga investasi besar pada teknologi menjadi sia-sia. Jika SDM tidak disiapkan, aplikasi secanggih apapun akan menjadi beban operasional, dan bukan alat transformatif.Pilar Kunci Kepemimpinan Digital untuk Solusi1. Manajemen Talenta: Kepemimpinan Digital harus melihat SDM sebagai asset terbesar, bukan penghambat. Manajemen Talenta dalam konteks ini berarti;
Pengembangan Kompetensi: Pemimpin harus berinvestasi dalam pelatihan keterampilan digital, analitik data, dan design thinking (berpikir desain) yang memungkinkan birokrat memahami kebutuhan pengguna.
Fokus pelatihan harus bergeser dari sekadar prosedur administratif menjadi problem-solving berbasis data.- Budaya Inovasi: Memberi ruang aman bagi pegawai untuk mencoba ide baru dan belajar dari kegagalan. Pemimpin yang hebat adalah mereka yang mampu memotivasi tim mereka dalam lingkungan virtual.- Perekrutan yang Strategis: Menarik talenta muda yang sudah memiliki pola pikir digital untuk mendisrupsi dari dalam.2. Orientasi Masyarakat (Customer Oriented) yang Fokus pada Dampak, Bukan Output: Filosofi Customer Oriented mewajibkan pemimpin mengubah fokusnya dari kinerja internal birokrasi (output) menjadi dampak nyara bagi masyarakat (outcome), artinya:- Desain Berbasis Pengguna: Setiap layanan digital harus dirancang melalui konsultasi mendalam dengan masyarakat (sebagai ‘pelanggan’ layanan publik).- Integrasi Layanan: Menghilangkan tumpang tindih aplikasi.
Masyarakat tidak perlu mengurus satu izin di lima aplikasi berbeda. Pemimpin harus memastikan Tata Kelola yang terintegrasi di balik layar.
Contoh Implementasi: Pemimpin yang Berani Berinvestasi pada SDM Keberhasilan implementasi e-government yang benar-benar dirasakan oleh publik seringkali dimulai dari investasi Kepemimpinan Digital pada SDM dan orientasi yang jelas. Sebagai contoh pertama, saat menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti menunjukkan kepemimpinan digital yang fokus pada perubahan budaya kerja dan kompetensi SDM demi pelayanan publik yang lebih baik, khususnya dalam penegakan hukum perikanan.
Alih-alih hanya berfokus pada aplikasi pelayanan izin, beliau berfokus pada sistem pengawasan berbasis teknologi canggih (misalnya, VMS/Vessel Monitoring System dan drone).
Dan contoh kedua, Selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo berfokus pada filosofi Berorientasi Masyarakat yang ketat melalui sistem pelayanan dan pengaduan terpusat. Keberhasilan layanan elektronik di Jawa Tengah terletak pada pemanfaatan kanal-kanal digital (seperti LaporGub) sebagai sumber utama desain layanan.
Tantangan dan Mengatasi Inovasi SemuTantangan terbesar yang dihadapi pemimpin digital adalah mengubah metrik keberhasilan. Seringkali, inovasi diukur dari seberapa banyak aplikasi yang diluncurkan (kuantitas), bukan seberapa besar dampak yang dihasilkan (kualitas dan adopsi pengguna).
Kepemimpinan harus berani menghentikan atau menggabungkan aplikasi yang tidak efektif dan fokus pada platform tunggal yang terintegrasi. Tantangan lain yang mengakar adalah masalah anggaran dan kebijakan. Proyek digital sering terhambat karena siklus anggaran yang tahunan, sementara pembangunan sistem terintegrasi membutuhkan komitmen multi-tahun. Selain itu, kebijakan Pengelolaan SDM di sektor publik sering kaku, membuat pemimpin kesulitan memberikan insentif khusus bagi pegawai yang mahir di bidang teknologi. Pemimpin harus mampu melobi perubahan kebijakan yang lebih fleksibel, serta menjamin kesinambungan program digital meskipun terjadi pergantian kepemimpinan.Untuk bergerak maju menuju Society 5.0, pemimpin harus memadukan teknologi yang cerdas dengan sentuhan manusia birokrasi.
Inovasi sejati terjadi ketika birokrat yang sudah terlatih digital (Pengelolaan SDM) menggunakan data dan sistem terpadu (Berorientasi Masyarakat) untuk memberikan layanan yang sangat personal dan efisien, bukan sekadar massal.PenutupWaktu untuk trial and error dalam e-government sudah habis. Masyarakat membutuhkan layanan nyata, bukan sekadar portofolio aplikasi yang mewah. Kepemimpinan Digital di sektor publik tidak boleh lagi terjebak dalam inovasi semu.
Transformasi sejati membutuhkan lebih dari sekadar anggaran besar untuk membeli software; ia membutuhkan keberanian pemimpin untuk berinvestasi pada kecerdasan manusia yang mengoperasikannya.Keberhasilan transformasi digital hari ini dan masa depan terletak pada keberanian pemimpin untuk berinvestasi pada Manajemen Talenta pegawai dan memastikan semua inovasi didasari filosofi Customer-Oriented.
Pemimpin yang fokus pada dua pilar ini akan mampu mendorong birokrasi dari sekadar regulator menjadi fasilitator gesit, mewujudkan pelayanan publik yang cepat, transparan, dan benar-benar berpihak pada kebutuhan rakyat.
Hanya dengan demikian, visi Society 5.0 tidak hanya menjadi jargon teknologi, tetapi juga realitas layanan yang inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh warga negara.