Menu
mediakoran.com

Frans Pigome: ‘Lead or Leave’ – Saatnya Papua Pimpin Freeport!

  • Share

MeKo||Bogor

Pernahkah Anda membayangkan seorang anak kecil di pelosok Papua, memandang langit malam dan bertanya, “Kenapa kami kaya, tapi tetap lapar?” Pertanyaan itu menghantui Frans Pigome sejak kecil, dan kini, ia datang ke Jakarta bukan untuk meminta, tapi untuk menuntut: Freeport harus kembali ke tangan Papua! Ini bukan sekadar berita tentang seorang pemimpin, tapi tentang mimpi yang dipendam generasi, tentang air mata dan harapan yang terukir di setiap wajah anak Papua.

Lahir dari keluarga seorang guru SD di pedalaman Papua Pegunungan dan mewarisi darah campuran (mixed) dari dua suku besar Meepago dan Lapago di Tanah Papua, Frans Pigome tumbuh dengan pemahaman mendalam tentang tantangan dan harapan masyarakatnya. Besar di Tiom, Lanny Jaya, Frans menyaksikan sendiri bagaimana kekayaan alam Papua justru menjadi kutukan. “Kita hidup di atas emas, tapi anak-anak kami kekurangan gizi,” itulah yang selalu diucapkan ibunya, kalimat yang menancap dalam hati Frans, menjadi kompas yang menuntunnya dalam setiap langkah.

Perjalanan Frans dari desa kecil hingga ke puncak PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah kisah yang mengharukan. Dengan bekal semangat dan air mata ibunya, ia berhasil menembus sekat-sekat diskriminasi, membuktikan bahwa anak Papua juga bisa berprestasi. Dari divisi keuangan pada tahun 2004, ia meroket hingga ke kantor pusat Freeport-McMoRan di Amerika Serikat. Namun, di tengah gemerlap dunia korporat, hatinya selalu tertambat di Papua. Tahun 2017, ia memutuskan untuk kembali, meninggalkan zona nyaman demi memperjuangkan hak-hak rakyatnya.

 

“Papua tidak butuh janji manis! Kami butuh pemimpin yang merasakan penderitaan kami, yang berani berkorban demi masa depan anak cucu kami,” ujar Frans dengan suara bergetar, saat menjabat sebagai Vice President for Papua Affairs di PTFI dari 2018 hingga 2024. Di bawah kepemimpinannya, Institut Pertambangan Nemangkawi lahir, menjadi bukti cintanya pada Papua, tempat di mana anak-anak muda Papua dididik untuk menjadi pemimpin masa depan.

Kini, sebagai penasihat teknis, Frans terus berjuang, menyuarakan aspirasi rakyat Papua, bahwa Freeport bukan hanya tentang angka dan keuntungan, tapi tentang martabat dan harga diri. “Kedaulatan sejati adalah ketika kami, orang Papua, bisa tersenyum bangga di tanah kami sendiri!” serunya dengan mata berkaca-kaca.

Dukungan untuk Frans Pigome bukan hanya datang dari tokoh-tokoh penting, tapi dari setiap hati yang merindukan keadilan. Majelis Rakyat Papua (MRP), tokoh nasional seperti Natalius Pigai, intelektual muda Yusuf Kobepa, dan ribuan masyarakat Papua, semua bersatu mendukung Frans Pigome.

“Frans Pigome adalah harapan kami, adalah suara kami, adalah air mata kami yang menjelma menjadi kekuatan!” kata seorang mama Papua dengan penuh haru.

Dengan doa dan air mata, Frans Pigome siap menghadapi Jakarta, merebut Freeport, dan mengembalikan senyum di wajah setiap anak Papua. Akankah kita membiarkannya berjuang sendirian? Atau akankah kita berdiri bersamanya, menyuarakan keadilan untuk Papua? Pilihan ada di tangan kita.

Jurnalis Romo Kefas

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *