Paham Ekstremisme Masih Incar Anak Muda, Narasi Toleransi Harus Diperkuat

Jakarta – Mediakoran.com

Paham ekstremisme masih mengincar anak muda sehingga diperlukan penguatan narasi toleransi beragama dalam ruang-ruang publik termasuk dunia pendidikan. Situasi pandemi Covid-19 yang menyebabkan individu terisolasi dari lingkungan sosial dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berselancar secara daring, juga semakin menyebabkan kaum muda lebih rentan terhadap radikalisasi dan rekrutmen paham ekstremisme.

“Kaum muda merupakan segmen masyarakat yang sangat terekspos ancaman ekstremisme karena didukung pula oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Hal ini menyebabkan mereka dapat dengan mudah mengakses propaganda ekstremis dan konten terorisme di media,” kata Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) di Kairo, Mesir, Lutfi Rauf, selaku pembicara kunci dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) bertema “LKLB untuk Mengatasi Ekstremisme Beragama: Menjawab Pesan Kairo” yang diadakan oleh Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Institut Leimena, Kamis (11/8/2022) malam.

Dubes Lutfi mengatakan dampak sosial dari pandemi Covid-19 diprediksi masih akan dirasakan hingga beberapa waktu ke depan sehingga semua pihak harus tetap waspada terhadap tantangan jangka panjang yang dapat ditimbulkan dalam hubungannya dengan ekstremisme

“Berdasarkan European Union Terrorism Situation and Trend Report tahun 2022 ini, diperoleh temuan bahwa pandemi Covid-19 mendukung pembentukan narasi ekstremisme,” tambah Lutfi.

Lutfi mengatakan United Nations Office on Drugs and Crime menyebut berbagai kelompok yang berusaha menyebarkan paham ekstremisme cenderung mengeksploitasi ajaran agama, perbedaan etnis, dan ideologi politik untuk membenarkan atau merekrut pengikut.

“Kondisi Indonesia yang kaya akan keberagaman yang biasanya senantiasa kita banggakan sebagai potensi dalam konteks ini dapat menjadi lahan yang subur untuk penyebaran paham ekstremisme apabila kita lengah,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kerja sama dan Promosi UMI, Prof. Hattah Fattah, mengatakan sektor pendidikan bisa menjadi wahana untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya ekstremisme dan radikalisme. Namun, di sisi lain, lembaga pendidikan juga bisa menjadi lahan subur untuk mengembangkan paham-paham radikalisme.

“Bagaimana menjaga lembaga pendidikan agar tidak terkooptasi pemikiran radikalisme itu menjadi tantangan kita bersama,” kata Prof Hattah.

Hatta mengatakan, sekalipun UMI merupakan lembaga pendidikan dakwah berciri khas Islam, tetap tidak pernah menolak mahasiswa non-Muslim. UMI juga menanamkan paham Islam Rahmatan Lil Alamin lewat konsep maupun praktik nyata di Pesantren Darul Mukhlisin, Padang Lampe, Sulawesi Selatan.

Sedikit tapi Militan

Staf Ahli pada Satgas Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Muhammad Suaib Tahir, mengatakan narasi yang dikembangkan oleh kelompok ekstrimis jauh lebih produktif dan efektif dibandingkan narasi dari kelompok moderat.

“Mereka (kalangan ekstrimis) sangat militan, meskipun sebenarnya jumlahnya sedikit tapi mendominasi di media sosial,” kata Suaib.

Situasi itu telah berhasil mempengaruhi kalangan muda. Menurut Suaib, BNPT dalam wawancara dengan sejumlah calon karyawan BUMN, beberapa anak muda yang baru lulus kuliah atau tamat SMA menyatakan akan mengikuti pandangan ustadnya jika diminta pergi berjihad ke Suriah.

“Beberapa waktu lalu, saya ditelepon keluarga di Indonesia untuk menyampaikan bagaimana kami bisa memulangkan anak-anak mereka yang masih muda di Suriah karena tertahan tidak bisa kembali ke Indonesia. Mereka terpengaruh media sosial,” ujar Suaib.

Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia, Tuan Guru Bajang (TGB) HM Zainul Majdi, mengatakan ekstremisme berakar dari pemahaman agama yang salah. Itu sebabnya, perlu adanya intervensi pendidikan secara serius di dalam ruang-ruang kelas dengan memastikan materi keagamaan bisa mengakomodasi keberagaman dan guru memiliki kualifikasi pemahaman agama yang moderat.

“Kalau bicara intervensi pendidikan adalah materi-materi keislaman yang kita ajarkan di semua jenjang pendidikan harus kita ‘sisir’. Tidak ada artinya kita bernarasi di webinar, berbicara di tingkat intelektual tapi menanam benih sebaliknya,” tandas Zainul.

Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab mengatakan Institut Leimena bekerja sama dengan UMI dan beberapa institusi melakukan pelatihan LKLB karena menyadari peran penting pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai inklusif. Pelatihan secara daring tersebut telah diikuti sekitar 2.400 guru madrasah dan pesantren.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan webinar seri LKLB dilatarbelakangi oleh pelaksanaan The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies di Kairo, Mesir, pada 7-9 Juni 2022 yang antara lain merekomendasikan pentingnya dunia pendidikan dalam mengatasi masalah ekstremisme, terutama dalam kurikulum pendidikan, pendidikan dasar anak-anak, serta para guru dan spesialis pendidikan lainnya.

Dalam konteks itu, pelatihan LKLB menekankan kepada penguatan solidaritas sesama anak bangsa dan umat manusia yang berbeda agama dan kepercayaan dengan melatih kemampuan bekerja sama dalam masyarakat majemuk.

Rektor UMI, Prof Basri Modding, mengatakan UMI secara konsisten menerapkan pendidikan inklusif. Contohnya, Pesantren Darul Mukhlisin beberapa waktu lalu menerima kunjungan dari pimpinan American Jewish Committee untuk melakukan dialog lintas agama. [IL/Chr]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *